Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin qamaril wujuudi fii hadzaal yawmi wa fii kulli yawmi wa fii yaumil maw’uudi sirran wa jahran fid dunyaa wal ukhra wa ‘ala aalihii wa shahbihii wa sallim

Monday, March 21, 2022

Biografi Gus Miek Kediri

Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1       Lahir

KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940. Beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri Pon-Pes Al Falah Mojo Kediri) dengan Nyai Rodhiyah. Pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri, Kyai Ahmad Jazuli Usman tidak pernah membeda-bedakan dalam mendidik anak, termasuk kepada Gus Miek.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Suatu ketika, Kyai Jazuli memerintahkan salah seorang santri seniornya, Pak Zaid dari Blitar untuk mengajari Gus Miek ilmu alat (nahwu) yaitu Al-Jurumiyah. Setelah mendapat perintah tersebut Pak Zaid langsung menemui Gus Miek untuk memberitahukan tugas yang diberikan kepadanya.

Ketika dimulai, Gus Miek berkata kepada Pak Zaid, “Tolong coba bacakan awalnya pak.” Setelah Pak Zaid baca Gus Miek kembali berkata, “Tolong coba bacakan bagian tengahnya pak,” dengan sabar Pak Zaid membacakan seseuai dengan permintaan Gus Miek. Sampai ketika Gus Miek meminta dibacakan bagian akhir sekaligus membacakan doa.

Tanpa terpikir oleh Pak Zaid, Gus Miek menjelaskan kita Jurumiyah dengan panjang, lebih lengkap, dan lebih detail dari ilmu yang dimiliki oleh Pak Zaid. Padahal Pak Zaid melihat secara nyata kalau Gus Miek belum pernah belajar kita Jurumiyah kepada siapapun.

Keesokan harinya Pak Zaid dipanggil oleh Kyai Jazuli ke kediamannya untuk melaporkan perkembangan Gus Miek. “Apa kamu sudah mengajari Gus Miek Jurumiyah?” tanya Kyai Jazuli. “Sudah Kyai, Gus Miek sudah bisa bahkan beliau menerengkan lebih luas darilmu yang saya miliki,” ujar Pak Zaid.

Mendengar jawaban dari Pak Zaid, Kyai Jazuli merasa kurang puas, lantas beliau menyuruh Pak Zaid untuk mengajarkan kembali Jurumiyah kepada Gus Miek. Pak Zaid menerima perintah tersebut sembari mohon pamit. Ketika baru keluar dari kediaman Kyai Jazuli, tiba-tiba Gus Miek muncul dan berkata, “Awas! anda jangan cerita kepada siapapun juga.”

Kisah Gus Miek di atas dikisahkan langsung oleh Pak Zaid kepada Gus Nur Habib Ngawi ketika bertemu di kediamannya Gus Ahmad Sholihi (huffadz semaan) Ngreco, Kediri. Gus Nur Habib Ngawi lantas menceritakan kisah tersebut kepada Ahmad Nazili Malang pada waktu acara sema'an Al Qur'an Jantiko Mantab di Kabupaten Sidoarjo. Kisah ini disimpan sangat lama sekali oleh Pak Zaid, mulai dari masa kanak-kanak Gus Miek sampai wafatnya Gus Miek.

1.2       Riwayat Keluarga

Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta dinikahkan, dan akhirnya beliau menikah dengan Zaenab, putri KH. Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun. Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, tabarrukan ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wirid-wirid.

Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong kota Kediri. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, para guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.

Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong ditentang KH. Djazuli Utsman dan Nyai Rodliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain.

Buah dari pernikahannya, mereka dikaruniai enam anak, empat putra dan dua putri yakni H Agus Tajjuddin Heru Cokro, H Agus Sabuth Pranoto Projo, Agus Tijani Robert Syaifunnawas, H Agus Orbar Sadewo Ahmad, Hj Tahta Alfina Pagelaran, dan Ning Riyadin Dannis Fatussunnah.

1.3       Wafat

Gus Miek wafat pada pada tanggal 5 juni 1993. Beliau menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi Mulya Surabaya (sekarang siloam).
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Beliau dimakamkan di Pemakaman Auliyya' Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di pemakaman ini pula KH. Anis Ibrahim dari Tulungagung dimakamkan di sebelah barat makam Gus Miek, dan juga KH. Achmad Shidiq dimakamkan di sebelah selatan makam Gus Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan adalah guru dan juga murid Gus Miek.

Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1       Mengembara Menuntut Ilmu
Pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah KH. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk berkeinginannya belajar di Pondok Pesantren asuhan KH.. Mahrus Ali tersebut. Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.

Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah karena dia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo beliau belajar dengan sungguh-sungguh, beliau membuktikan untuk orang tuannya dengan kegiatan yang dipekerjakan menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di Pondok Pesntren Ploso.

Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab untuk para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar), Fatkhul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh), Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf). Pada waktu inilah orang tuanya menyadari keadaan karomah (kelebihan) kewalian pada diri Gus Miek.

Setelah menunjukkan kemampuannya untuk orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus Miek memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo. Di pesantren tersebut dia cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun dia mempuyai kebiasaan yang sulit dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, beliau hanya tidur dan menaruh kitabnya di atas meja. Meskipun demikian, ketika gurunya mengajukan pertanyaan terkait materi yang telah disampaikan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya dengan memuaskan.

Di Pesantren Lirboyo, hadir beberapa santri yang tidak jauh dengan Gus Miek, di selangnya adalah Abdul Ro'uf dari Blitar yang mendapat tugas memasak, Abdul Zaini dari Gresik, Abdullah dari Magelang, Gus Idris dan Gus Fatkhurrohman. Perkenalan dengan Abdullah tersebut yang kesudahannya membuat Gus Miek meninggalkan Pesantren Lirboyo dan pergi ke Magelang. Pada umur 14 tahun, beliau pergi dan melanjutkan belajarnya ke sebuah Pondok Pesantren asuhan KH. Dalhar di Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.

2.2       Guru-Guru Beliau
KH. Djazuli Usman
KH. Mubasyir Mundzir
Gus Ud (KH. Mas’ud)
KH. Achmad Shidiq
KH. Machrus Ali
KH. Dalhar Watucongol
Kiai Jogorekso Gunungpring
KH. Ali Maksum
KH. Mansur Popongan
KH. Arwani Amin Kudus
KH. Ashari Lempuyangan
KH. Abdul Hamid Kajoran
Al-Habib Sholeh bin Muksin Al-Hamid
2.3       Mengasuh Pesantren
Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab untuk para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar), Fatkhul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh), Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf). Pada waktu inilah orang tuanya menyadari keadaan karomah (kelebihan) kewalian pada diri Gus Miek.

3          Penerus Beliau
3.1       Putera dan puteri Beliau
Putera-puteri beliau yang menjadi penerusnya adalah:

H Agus Tajjuddin Heru Cokro
H Agus Sabuth Pranoto Projo
Agus Tijani Robert Syaifunnawas
H Agus Orbar Sadewo Ahmad
Hj Tahta Alfina Pagelaran
Ning Riyadin Dannis Fatussunnah
3.2       Murid-murid Beliau
Murid-murid beliau adalah para santri pesantren Al Falah Ploso Kediri

4         Jasa Beliau
4.1    Mendirikan Sema'an Al-Qur'sn Dzikrul Ghofilin dan Jantiko Mantab
Dari berbagai perjalanan, riyadloh,  dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awanya Gus Miek mendirikan Jama`ah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jama`ah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas.

Pada tahun 1971, para jama`ah Gus Miek dan masyarakat NU menghadapi dilema pemilu. Saat itu semua pegawai negeri diminta memilih Golkar oleh penguasa. Gus Miek sendiri tidak mencegah bila para pengikutnya yang PNS untuk memilih Golkar, karena situasi sosial saat itu di bawah rezim Soeharto.

Metamorfosis dari komunitas yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jama`ah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi dzikrul ghofilin. Pada tahun 1971-1973 susunan wirid-wirid dzikrul ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau ke Kabupaten Jember.

Bersama-sama KH. Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid dzikrul ghofilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jama`ah Gus Miek:

Jember di bawah payung KH. Achmad Shidiq,
Tulungagung di bawah payung KH. Anis Ibrohim,
Klaten di bawah payung KH. Rahmat Zuber,
Yogyakarta di bawah payung KH. Daldiri Lempuyangan,
dan seluruh Jawa Tengah di bawah payung KH. Abdul Hamid Kajoran Magelang.
Di samping meng-organisir dzikrul ghofilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga meng-organisir sema’an Al-Qur’an.
Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an Al-Qur’an Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Aam Syuriah PBNU saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.

Dibandingkan dzikrul ghofilin, jama`ah Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko man taba. Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majlis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga man taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah.

Perjuangan Gus Miek dengan dzikrul ghofilin, sema`an Al-Qur’an, dan tradisi sufinya ke tempat-tempat diskotik, tempat perjudian, dan lain-lain, sangatlah tidak mudah. Di tengah-tengah jam`iyah NU yang telah membakukan tarekat mu’tabaroh, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Dzikrul ghofilin dianggap berada di luar kelaiman, tidak mu’tabaroh. Penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Machrus Ali.

Hanya saja, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggemberikan karena KH Achmad Shidiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU, yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghofilin di kabupaten Jember dan sekitarnya.

Teladan Beliau
Teladan yang bisa diikuti dari sosok Gus Miek adalah sikap tawadu dan sikap sederhananya. Karena sering kali, Gus Miek kalau sedang jalan-jalan keluar, beliau hanya mengenakan celana jeans dan kaos oblong.

6      Karomah Beliau
6.1       Kisah Gus Miek dan Semut
Di Desa Ploso ada seorang faqir yang biasa dipanggil Pak Adnan, dia membuat makanan yang dititipkan di kantin Pondok Ploso. Pak Adnan punya seorang keponakan yang sampai umur Sembilan tahun belum bisa jalan. Ikhtiyar ke dokter, tabib, kyai semua sudah dilakukan.

Namun, ia belum ke 1 kyai, Gus miek, karena beliau memang susah mencarinya. Suatu ketika setelah selesi jamaah di masjid Pondok Ploso, Pak Adnan melihat Gus Miek sedang duduk santai tanpa pakai baju atasan di teras madrasah depan masjid. Pak Adnan langsung cepat-cepat mendekat dan menceritakan perihal keponakannya.

Gus Miek lalu dawuh, “lha opo mbok kiro aku dukun?” (apa kamu kira saya ini dukun?), red.

Pak Adnan lalu menjawab, “geh mboten gus, nyuwun barokah doa njenengan.” (ya tidak gus, saya hanya minta berkah doa Anda), red.

Gus Miek diam sebentar lalu dawuh, “yo wes aku gelem njalukne nyang pengeran tombo ponakanmu tapi syarate siji, ojo mbok critokne sopo-sopo. Lek mbok critokne, ponakanmu waras, awakmu sing mati. Kecuali aku wes mati rapopo bok critakne.” (ya sudah, saya mau mintai ke Allah SWT untuk sembuhkan keponakanmu, tapi syaratnya satu, jangan kamu ceritakan ke siapa-siapa. Kalau kamu ceritakan ke orang lain, keponakanmu tetap sembuh, kamunya yang mati. Kecuali kamu ceritakan setelah saya mati, itu tidak apa-apa), red.

Lalu Pak Adnan menyetujuinya, “inggih gus” (baik gus), red. Setelah itu Gus Miek meminta Pak Adnan untuk pulang, “saiki muliho golek o semut sing rupane ireng terus dulang no nyang ponakanmu.” (sekarang kamu pulang, cari semut yang warnanya hitam, lalu suapkan ke keponakanmu), red.

Dengan mantap Pak Adnan pulang dan mencari semut hitam, lalu disuapkan ke ponakannya yang sembilan tahun di kasur saja.  Lalu Pak Adnan keluar, kembali 1 jam kemudian.

Ditengoklah si keponakan tidak ada di kasurnya, dicari-cari ternyata ada di sumur sedang menimba air. Pak Adnan langsung menangis syukur atas kesembuhan si keponakan.

Seperti yang diperintahkan Gus Miek, Pak Adnan tidak berani menceritakannya pada siapapun, karena jika ia menceritakannya ia sendiri yang akan mati. Sampai Gus Miek wafat tahun 93, baru dia cerita ke seseorang yang punya masalah yang sama, anaknya belum bisa berjalan.

Dicarilah semut hitam meniru-niru apa yang dikatakan Gus Miek dulu. Sampai habis semut berkilo-kilo si anak belum bisa berjalan juga. Jelas bukan faktor semut, tapi faktor doa sang kekasih Tuhan.

6.2      Harimau penjaga Gus Miek
Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harimau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan lupa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilati kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.

Ikan Piaraan Nabi Khidir
Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. Sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan.

Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam.

Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.

Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. Beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.

Pada suatu malam di Ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai Brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek.

Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali ke pondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

7          Kisah-kisah
7.1          Kisah Kewalian
Pergi ke Diskotik

Pernah diceritakan suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.

“Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ?”

lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut”.

Diliputi rasa keanehan, Gus Miek angkat bicara “sampeyan semua gak percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?”

Lalu Gus Miek membuka lebar mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut.

Dan saat itu juga mereka diberi hidayah oleh Allah SWT untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah satu Karomah kewalian yang diberikan Allah kepada Gus Miek.

7.2          Kisah Tentang Perempuan dan Kacamata
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH. Achmad Shiddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang perempuan ?

“Aku setiap kali bertemu perempuan walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada,” jawab Gus Miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menanyakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kacamata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu.

”Apabila aku bertemu orang di jalan atau tamu aku diberi pengetahuan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis,“ jawab Gus Miek.

Adanya sistem dakwah yang dilakukan Gus Miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang alimpun sekaliber KH. Abdul Hamid Pasuruan mengaku tidak sanggup melakukan dakwah seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal KH. Abdul Hamid juga seorang waliyallah.

7.3         Kisah Bersama Presiden Ke-4
Untuk menetapkan langkah politik, Gus Dur biasa membuat kalkulasi rasional yang rumit. Tapi itu bukan satu-satunya pertimbangan. Gus Dur pun biasa mengecek hasil kalkulasinya dengan nasehat orang-orang waskita, yakni yang diyakininya sebagai golongan muqorrobin. Diantara yang beliau cari dan beliau perhatikan nasehatnya adalah Gus Miek.

Suatu kali, disela maraton pengumpulan informasi dan penggalangan menjelang satu keputusan politik penting, Gus Dur menyempatkan diri menguber Gus Miek yang juga sedang dalam maraton sema'an mantab.

"Bagaimana Indonesia ini, Gus?," Gus Dur bertanya kepada Gus Miek.

"Oh, Insya Allah baik-baik saja, Gus. Semua beres. Tinggal dua yang belum beres!," Gus Dur bergairah, siap menerima inspirasi, "Yang belum beres apa?," "Saya sama sampeyan!".

8         Referensi
  https://wiki.laduni.id









Biografi Syeikh Ihsan Jampes Kediri

Biografi Terlengkap Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Kediri

Beliau terkenal sebagai seorang ulama yang pendiam dan tak suka publikasi. Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi.

Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya semakin terkenal setelah kitab karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Dan, dari karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.

Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya.

Karena itu, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, tetapi hingga pada persoalan fikih.

Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes.

Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Air.

Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.

Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.

Membaca dan menulis

Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), ‘Tiada Hari tanpa Membaca’. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga bahasa Indonesia.

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau mengarang.

Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang.

Selanjutnya, pada 1932, ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia.

Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad , penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.

Selain Manahij Al-Amdad, masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan, sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.

Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan (kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih remaja.

Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya ‘Bakri’. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok.

Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat.

Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.

Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya.

Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat.

Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya.”Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu,” kata kakek tersebut.

Ia bertanya dalam hati, ”Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,” timpal Syekh Ihsan.

Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ”Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.”

Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa.

Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).

Tawaran Raja Mesir

Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin .

Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.

Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan ‘MMH’ (Madrasah Mufatihul Huda).

Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu.

Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah setingkat tsanawiyah dan aliyah.

Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.

Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf

Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi.

Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad pertengahan.

Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi.

Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan.

Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman.

Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Darul Fiqr–sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.

Kitab tersebut tidak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu.

Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.

Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tidak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia.

Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak.

Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika.

Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi.

Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar luas di Indonesia.

Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syekh Ihsan al-Jampesi yang wafat pada 1952.

Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari (Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad Yunus Abdullah (Kediri).

Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi.

Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniaan.

Sumber: https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/07/30/biografi-syekh-ihsan-muhammad-dahlan-al-jampesi-kediri/#more-143