Thariqah Qadariyah
Thatiqah yang didirikan oleh Wali Agung Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.
Nama lengkapnya Sayid Abu Muhammad ‘Abdul Qadir al-Jailani’ putra dari Abu Shaleh Musa Jangki Dausat bin Abdullah.
Ayahnya merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang juga putra Fathimah az-Zahra binti Rasulullah.
Dilahirhan pada tahun 471 H di daerah Jilan yaitu pedesaan yang terletak di daerah Thabaristan.
Pada waktu kecil ia tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan.
Ketika berusia remaja ia mengembara untuk menuntut ilmu Fikih kepada beberapa orang guru.
Di antaranya Syaikh Abu Wafa Ali bin ‘Aqil’, Abu Khatabah al-Kalwadzani, dan lainnya. Ia belajar ilmu Adab pada Syaikh Abi Zakariya Yahya bin ‘Ali ath-Thibrizi dan berguru ilmu tarekat kepada Waliyullah Syaikh Khair Hamad bin Muslim ad-Dabbas.
Sedang madat tasawuf ia terima dari tangan Abu Sa’id al-Mubarak.
Ia mengasingkan diri selama 25 tahun, Berjalan menyusuri pegunungan Irak dan desa yang tak berpenduduk.
Dalam perjalanannya itu, ia tak mengenali orang dan orang juga tak mengenalinya.
Pada suatu hari ia bertemu dengan seseorang yang memberinya uang karena merasa kasihan kepadanya.
Ia terima pemberian tersebut lalu dibelikan roti.
Kemudian ia memakan roti tersebut.
Tiba-tiba ada selembar kertas melayang dan berhenti tepat di sisinya.
Di kertas itu tertulis pesan, “Syahwat hanya dibuat bagi hamba yang lemah sebagai bekal untuk taat beribadah.
Sedangkan hamba yang kuat, tidak memiliki syahwat.” Selesai membaca pesan, ia langsung meninggalkan makanannya.
Kemudian berdiri menghadap kiblat, takbir, dan shalat dua rakaat lalu pergi.
Pada saat pertama memasuki Irak, ia bertemu dengan Nabi Khidir AS.
Namun, ia tidak mengenalinya, Lalu Nabi Khidir AS menyuruhnya seupaya tidak melanggar perintahnya.
Nabi Khidir berkata ”Duduklah di sini dan jangan tinggalkan tempat dudukmu sampai aku suruh”.
Lalu ia duduk di tempat tersebut selama 3 tahun lamanya.
Setiap tahun Nabi Khidir AS mendatanginya dan memberikan perintah yang sama.
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani berguru tarekat pada Aba Sa’id al-Mubarak dari Abu Hasan al-Hakkari dari Abu al-Farah ath Thurtusi dari Abdul Wahid at-Tamimi dari Abu Bakar asy-Syibli dari Imam Abu Al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi dari Imam as-Sari as-Saqathi dari Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Sayyid Ali bin ar-Ridha dari ayahnya Sayyid Ja’far ash-Shadiq dari ayahnnya Sayyid Muhammad al-Baqir dari ayahnya Sayyid Ali Zainal Abidin dari ayahnya Sayyid Husain dari ayahnya Sayyidina Ali Bin Abu Thalib k.w. dari Rasulullah SAW.
Di antara akhlak Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah setiap kali berhadas, maka segera mengambil wudhu lalu shalat dua rakaat.
Karena itu, ia tak pernah duduk dalam keadaan berhadas.
Ia selalu bersunggih-sungguh dalam ibadah sehingga di buka oleh Allah Hal-nya karena itu, ia mengungguli semua orang dari zamannya dalam bidang ilmu, amal, zuhud, makrifat, wara’, kepemimpinan dan kemasyarakatan yang demikian membuatnya terkenal pada masa itu.
Syaih Abdul Qadir al-Jailani berkata, “pada suatu hari aku melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang yang meninari penjuru langit.
Cahaya itu kemudian berubah bentuknya lalu berseru kepadakau, ‘Wahai ‘Abdul Qadir, aku ini adalah tuhanmu. Sungguh aku halalkan barang-barang yang haram untukmu,
“Maka aku katakan, ‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Celakalah engkau, wahai yang terlaknat, Tiba-tiba cahaya itu menghilang lalu berubah menjadi asap, lalu menjerit seraya berkata, ‘Wahai ‘Abdul Qadir, engkau telah selamat dari godaanku sebab ilmu akidah dan ilmu syariahmu.
Sebelumnya, aku telah menyesatkan 70 orang dengan cara seperti ini’.”
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani mengucapkan “Alhamdulillah” ketika di Tanya, “Bagaimana engkau mengetahui yang menggodamu itu adalah syaitan?” ia menjawab, “Aku mengetahu dari kata-katanya ‘Sungguh aku halalkan barang-barang yang haram untukmu’.
Karena aku mengetahui bahwa Allah tidak akan menyuruh untuk berbuat keburukan.”
Syaikh ‘Abdul Qadir al-jailani menguasai tiga belas macam disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, fikih, usul, nahwu, ilmu Al-Qur’an dan lain-lainnya.
Ia mengeluarkan fatwa berdasarkan madzhab Imam Syafi’I dan Imam Hambali.
Di antara karamahnya adalah lalat tak pernah hinggap pada bajunya.
Karamah seperti ini merupakan warisan yang berasal dari kakeknya, Rasulullah SAW ketika di Tanya mengenai hal tersebut, ia menjawab “Untuk apa lalat hinggap dibajuku, sementara aku tak memiliki gula dunia dan madu akhirat.”
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas tengkuk (leher belakang) setiap wali”.
Pada saat Syaikh mengatakan yang demikian, tidak ada seorang walipun di seantero dunia ini melainkan sama-sama menundukkan kepala.
Hanya seorang wali di daerah Ishfihan yang tidak menundukkan kepala kepada Syaikh Abdul Qadir sehingga dicabut kewaliannya.
Menurut Syekh Abdul Qadir, manusia di bagi menjadi 4, yaitu:
1. Orang-orang yang tidak punya hati dan lidah.
Mereka ini ialah masyarakat yang tidak peduli dengan kebenaran dan keutamaan, hanya tunduk pada indra fisik.
2. Orang yang punya lidah tapi tidak berhati.
Ialah mereka yang menganjurkan kebaikan tapi mereka sendiri tidak berbuat demikian.
3. Mereka yang mempunyai hati tapi tidak berlidah.
Yaitu mereka yang selalu berusaha untuk memperbaiki diri karena sadar akan kelemahannya.
4. Orang yang memiliki hati dan juga lidah.
Ialah mereka yang mendapatkan pengetahuan sejati.
Mereka ini adalah kelompok tertinggi setelah kelompok para Nabi.
Syaikh Abdul Qadir wafat pada tanggal 11 Rabiuts Tsani tahun 561 Hijriyah pada usia 91 tahun dan di kebumikan di Baghdad.
Makamnya banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai pelosok negri.
Sumber :
http://radytasinta.blogspot.com/2017/06/macam-macam-thoriqoh-dan-tokoh.
No comments:
Post a Comment